JURI SONTOLOYO ( PEMENANGNYA JUGA SONTOLOYO )


Lomba, adalah sebuah ajang kompetisi dimana orang-orang yang terlibat di dalamnya saling beradu kemampuan dalam segala bidang. Namun apa mau dikata, jika ajang suatu kompetisi dipimpin oleh juri juri yang tidak berkompeten, dan tidak adil dalam memberikan penilaian. Ada pula juri yang bergelar akademisi dengan tingkat sarjana bahkan sampai master, tidak menunjukkan sama sekali pendidikannya sesuai dengan gelar yang diembannya. Mereka kadang tidak berpikir jernih dan sangat tidak profesional.

Erapkali perasaan dan emosi dalam penilaian turut dijadikan suatu acuan dalam memberikan suatu penilaian. Banyak lomba, ajang, di tanah air yang dilakukan tidak dengan fair. Dan lagi – lagi, semuanya masih berbau “ketidakadilan” bahkan manipulasi karena suatu “rasa” yang seharusnya tidak dilakukan dalam hal penjurian. Mendapat cemooh sangatlah ditakutkan bagi seorang juri yang tidak profesional. Mereka juga kadang telah menerima “memo”. Memo kesepahaman, bahkan memo titipan untuk memenangkan seorang peserta dari peserta lainnya.

Yang patut dibanggakan adalah ajang Indonesian Idol, yang juri-jurinya bukan lah para juri karbitan yang mudah simpati, dan kemudian merasakan empati, lalu memilih dan menilai peserta tanpa penilaian yang obyketif. Berbeda dengan ajang lainnya yang terkenal dengan ajang pencarian bakat. Mengkritik sepertinya merupakan suatu ketabuan dalam ajang tersebut, demi menjaga perasaan peserta, terkecuali seorang juri yang berpredikat master dalam bidang sulap aliran Mentalist. Tanpa memikirkan efek dari tindakan mereka, peserta yang muncul tentunya akan menjadi bintang dan pemenang karbitan. Mereka tidak akan bertahan dalam industri apapun karena menang secara tidak wajar, dan hanya karena belas kasihan semata.

Beberapa waktu lalu saya menyaksikan sebuah lomba pidato berbahasa Inggris, yang diadakan sebuah sekolah dasar swasta. Konsentrasi saya tepaku dengan seorang murid laki laki dari Sekolah Dasar yang berpidato sambil menangis karena isi pidatonya mengharuskannya demikian. Dan anehnya lagi, setelah menangis, si murid laki laki tersebut bisa tertawa riang. Sungguh menjijikan dan juga mengenaskan!!!

Apa yang salah jika berpidato dengan menangis?
Sang guru yang menemani beberapa murid andalannya yang hendak mengikuti perlombaan tersebut dengan bangga mengatakan, bagus, menangis itu bagus, dan bisa mengusik hati para juri. Benarkah demikian?

TENTU SAJA SALAH !!!
 

Dan hanya guru sontoloyo yang mengajarkan muridnya berpidato sambil bersandiwara dengan linangan air mata palsu. Sedih, dan miris, ketika menyaksikan murid yang melakukan tindakan demikian justru memenangkan lomba tersebut. Mereka akan jadi generasi penerus bangsa yang penuh dengan kemunafikan. Mereka telah dilatih untuk pandai bersandiwara, menangis kemudian tertawa. Ingat, mereka masih bau kencur, masih duduk di bangku sekolah dasar.

Sungguh miris, dan sangat mengenaskan. Saya sedih, menyaksikan dengan mata kepala sendiri guru yang mendidik muridnya sedari dini untuk pandai bersandiwara dan munafik. Bayangkan, mereka hanya anak-anak sekolah dasar yang pada hakikatnya belum bisa sepemikiran dengan pemikiran manusia munafik yang rela mengejar prestasi dengan cara yang tidak terpuji.

Bagaimana dapat dikatakan tidak terpuji? Si murid tersebut dikondisikan untuk melakukan suatu sandiwara dengan berpura-pura sedih ketika berpidato. Jika benar mereka terenyuh karena pidato mereka sendiri, saya akan angkat empat jempol untuk memuji mereka. Namun saya berani menyakinkan semua pembaca, bahwa mereka tidak benar-benar terenyuh dengan pidato yang mereka bacakan dihadapan para tamu yang hadir. Mereka hanya melaksanakan tugas yang semata diembankan kepundak mereka oleh guru-guru yang merasa dirinya pandai namun ternyata bodoh sama sekali.

Yang tidak kalah miris adalah para jurinya yang justru memenangkan peserta seperti itu. Gelar mereka bahkan ada yang sampai master, namun menilai sekelas tukang bakso. Sungguh menyedihkan. Bagaimana pendidikan di Indonesia akan maju, jika perbuatan-perbuatan tidak terpuji tersebut dilakukan dengan suatu kesadaran penuh?

Lain lagi dengan peserta yang berpidato layaknya membaca puisi. Bukannya didiskualifikasi, malahan kembali dimenangkan. Sungguh mengenaskan!!!

Sudah selayakanya mereka langsung didiskualifikasi, bukannya malah dimenangkan, karena konteksnya sudah sangat bergeser. Namun itulah potret dari penjurian dan perlombaan yang terjadi di sekolah dasar tersebut. Yang perlu pembaca garis bawahi disini adalah, pidatonya berbahasa Inggris.

Benarkah mereka begitu mengerti dengan setiap kata yang mereka ucapkan? Bagaimana bisa, jika cara pengucapannya nya pun masih sangat kentara ketidakmampuannya. Saya sering mengamati pandai atau tidakkah seorang dalam membaca dan berdialog dalam bahasa Inggris. Dan sangat mudah untuk memilah siapa yang pandai dan fasih berbicara Inggris dan siapa yang tidak. Cobalah dengan mendengar setiap kali mereka yang berdialog mengucapkan kata “VERY” contohnya Very Much. Jika pengucapan Very terdengar seperti mengucapkan nama Fery, maka orang tersebut masih tergolong kelas sangat pemula dan sama sekali belum mahir berdialog dalam bahasa Inggris. Karena huruf V bukan dibaca fi, namun, Vi dengan penekanan yang cukup dalam.

Ketika melihat pertandingan berlangsung, pertama kali panitia memperkenalkan semua juri yang hadir, yang rata-rata bergelar sarjana bahkan ada yang master. Dan yang lebih hebatnya lagi rata rata dari mereka sarjana dalam bahasa Inggris. Namun yang amat disayangkan, kesemua juri tersebut tidak diberikan waktu untuk memperkenalkan diri mereka atau mengucapkan kata sambutan dalam bahsa Inggris. Akan lebih bijaksana jika mereka yang ditunjuk sebagai juri, bisa memperkenalkan diri mereka masing masing dengan berbahasa Inggris pula dan melakukan sedikit kata sambutan. Sehingga status mereka sebagai juri bukanlah juri OMONG KOSONG yang mungkin saja ternyata tidak fasih berbahasa Inggris.

Sungguh memalukan tentunya jika mereka hanya TONG KOSONG NYARING BUNYINYA. (alias tidak bisa berbicara fasih dalam bahasa Inggris namun diangkat menjadi juri dalampidato berbahasa Inggris ). Bahkan patut dipertanyakan apakah gelar dan ijasah kesarjanaan mereka asli atau hasil manipulasi semata? Walahualam…

Maka sudah sepantasnya mereka yang menjadi juri tergugah hatinya untuk berpikir jernih dan profesional dalam menilai para peserta. Memberikan kritik adalah suatu hal yang perlu dilakukan demi terciptanya generasi penerus bangsa yang unggul. Menjadikan mereka sebagai tunas penerus bangsa yang bermental baja, bukan bermental tempe. Juga menjadikan mereka sebagai generasi penerus bangsa yang jujur dan tidak munafik, berbicara apa adanya tanpa harus pandai bersandiwara.

Jika sebagian mengatakan itu trik, jelas itu adalah trik keblinger yang salah alamat. Trik menangis agar mengundang rasa simpati juri yang mengharu biru? Trik boleh saja dilakukan asalkan jangan meninggalkan akhlak dan jangan membuat suatu manipulasi. Memanipulasi keadaan dan membuat seolah-olah kesedihan bisa diperjualbelikan sedari dini adalah suatu perbuatan hina yang mencermikan kebobrokan pribadi seorang pengajar itu sendiri.

Dan untuk juri, yang kira-kira tidak pantas menjadi juri, lebih baik mundur dengan legowo tanpa harus memaksakan diri sehingga akan nampak kebodohan mereka serta ketidakprofesionalan mereka sendiri di mata masyarakat. Mereka hanyalah sekumpulan manusia tidak berguna yang mengotori sebuah kompetisi yang sudah seharusnya dilaksanakan secara adil. Indonesia harus maju dengan manusia yang berkompeten dan punya malu, sehingga mereka akan mundur tanpa dilengserkan jika mereka memang tidak pantas untuk menduduki suatu jabatan yang berhubungan dengan kemajuan bangsa, dan juga yang berhubungan dengan jati diri Indonesia sebagai bangsa yang besar. Jika seorang juri bermental tempe, maka pemenangnya pun akan bermental sama dengan jurinya.

Memilih manusia tempe oleh manusia tempe dan untuk manusia tempe.

BERLAKU ADIL SEBAGAI JURI ADALAH SUATU TINDAKAN MULIA YANG MENCETAK MANUSIA BERPRESTASI, BUKAN MALAHAN MENCETAK MANUSIA BERMENTAL TEMPE YANG DAPAT MENGHANCURKAN MENTAL ANAK BANGSA

MENJADI PENDIDIK BUKAN SEMATA UNTUK KEHORMATAN, NAMUN LEBIH TERPUJI UNTUK PENGABDIAN, KARENA GURU ADALAH CERMINAN KEMAJUAN SUATU BANGSA.



Artikel ini ditujuan untuk semua juri yang tidak layak menjadi juri, juri dengan gelar sontoloyo harus diberi sangsi sosial agar mereka sadar bahwa penjurian tidak bisa disangkutkan dengan emosi atau pun "memo titipan".

Artikel ini juga ditujukan untuk anak-anak yang sudah belajar menjadi tunas penerus bangsa yang munafik sehingga pantas bergelar sontoloyo, sadarlah, karena jalan kalian masih panjang untuk bisa menjadi manusia berbudi luhur yang unggul dan jujur. Tidak perlu menuruti semua ajaran dan didikan guru kalian jika ajaran dan didikannya menyesatkan. Diskusikan dulu dengan orang tua atau siapapun yang bisa dimintai saran dan pertimbangannya.

Semoga artikel ini dibaca oleh semua khalayak dan bisa disebarluaskan sehingga kiprah dari juri- juri sontoloyo bisa hilang dari bumi Indonesia….

Salam,
Smile