GURU itu : PENGAJAR, BUKAN PENGHAJAR


Kurikulum pendidikan di Indonesia yang tidak efektif akan mulai diefektifkan, karena rencananya untuk tahun 2014 nanti, kurikulum untuk sekolah dasar akan dirubah, dan mata pelajarannya hanya tinggal tujuh saja.

Petikan dari kompas :
"Mata pelajaran SD nanti adalah Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, PPKn, Matematika, Kesenian, Pendidikan Jasmani dan Olahraga Kesehatan, serta Pengetahuan Umum," kata Suyanto saat dihubungi Kompas.com, Selasa (2/10/2012) di Jakarta.

Untuk kelas 1 sampai dengan kelas 3 SD akan meniadakan pelajaran Bahasa Inggris. Jadi untuk adik-adik boleh mulai bernapas lega karena ketidakefisienan dari banyaknya mata pelajaran akan segera dipangkas habis-habisan.

Mata pelajaran Bahasa Inggris tidak akan lagi dimuat dalam kurikulum wajib untuk siswa sekolah dasar (SD) yang akan diberlakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun ajaran 2013-2014. Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim mengatakan, mata pelajaran ini ditiadakan untuk siswa SD karena untuk memberi waktu kepada para siswa dalam memperkuat kemampuan bahasa Indonesia sebelum mempelajari bahasa asing.

“SD tidak ada pendidikan Bahasa Inggris karena Bahasa Indonesia saja belum ngerti. Sekarang ada anak TK saja les Bahasa Inggris. Kalau bahasa kasarnya, itu haram hukumnya. Kasihan anak-anak,” kata Musliar, di Park Hotel, Jakarta, Rabu (10/10/2012).

Semoga saja peringkat pendidikan Indonesia dari peringkat 69 dunia akan bisa mulai naik menjadi peringkat yang lebih baik tentunya. Selain itu karena terlalu banyak mata pelajaran membuat murid-murid menjadi tidak fokus dalam menghadapai pelajaran yang begitu banyak tersebut.

Selain itu , banyak sekali faktor yang sudah terlanjur salah dipersepsikan turun temurun dari generasi ke generasi mengenai  anak yang pandai menghapal pasti jadi juara kelas, dan hidupnya pasti sukses dikemudian hari.

Namun pada kenyataannya, suka atau tidak, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Dalam artian, tidak selamanya anak yang tidak berprestasi dan tergolong tidak pandai di sekolah akan menjadi orang yang pasti tak berguna dikemudian hari. Banyak anak singkong yang menjadi orang besar ketika dewasa. Banyak orang yang tak berpendidikan tinggi pun bisa sukses melebihi orang yang ketika sekolah tergolong pandai dan menjadi kumpulan dari murid-murid unggulan. 

Banyak pendidik yang masih menganut suatu paham yang salah yang diturunkannya kepada murid-murid tanpa pernah melihat dari sisi seorang murid.

Mari kita buka habis-habisan tindakan seenaknya dari pendidik yang menyebut diri mereka pengajar. Mereka haus akan kehormatan sehingga mereka ingin selalu dihormati oleh murid-murid mereka ketimbang menjadi akrab dengan mereka. Ada suatu paradigma bahwa seorang guru harus menjaga wibawa dan gengsi sehingga terjadi suatu GAP yang cukup kentara antara murid dan gurunya sendiri.

Seorang guru kadang tidak pernah memahami dunia murid namun murid harus memahami perangai setiap guru. Dari kecil mereka sudah di-didik untuk menjadi penjilat, karena siapa yang dekat dengan gurunya akan mendapat perhatian lebih dan siapa yang kaku bergaul dan tidak cengangas-cengenges akan diasingkan dan dianggap sebelah mata oleh guru mereka sendiri. Itulah proses pembentukkan karakter yang ngaco belo sehingga pada akhirnya terbentuklah pribadi-pribadi sontoloyo yang suka menjilat kanan dan kiri dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.

Pelajaran yang paling penting yaitu pelajaran agama pun sangat tidak efisien karena kebanyakan mereka hanya memberikan teori tanpa pernah menekankan apa yang diajarkan untuk dipraktekkan kedalam kehidupan keseharian mereka. Jika menjawab soal agama, sangat mudah untuk mendapatkan nilai yang baik. Caranya dengan menjawab semunafik mungkin tentang kebaikan, maka nilainya pasti akan tinggi. Yang lebih lucu lagi, membohong demi nilai dianggap sah sekalipun seorang guru tahu jika murid-muridnya sedang menjilat.

Mengenai banyaknya mata pelajaran dan waktu ulangan atau test yang sangat rapat terkadang sama sekali tidak memperhatikan daya pikir seorang murid dalam menghadapi test atau ulangan yang begitu banyak dalam seharinya. Seorang guru hanya mengajarkan satu pelajaran. Mereka sangat menguasai satu pelajaran yang mereka berikan. Sedangkan murid harus memahami semua pelajaran yang diberikan oleh guru-guru mereka.

Yang jadi suatu tantangan, Bisakah guru Bahasa Indonesia diberikan soal Sains atau IPA? Atau bisakah guru kesenian diberikan soal fisika? Mereka akan nampak bodoh dan kemungkinan besar tidak akan bisa menjawabnya. Lalu bagaimana dengan murid? Mereka dipaksa, mau tidak mau, suka atau tidak suka, sanggup atau tidak sanggup, siap atau tidak siap untuk menerima dan terus menerima semua pelajaran yang diberikan dan terus dijejalkan ke otak mereka. 

Jika demikian betapa tidak adilnya kehidupan ini.
Mereka tidak pernah memiliki empati dan merasakan bagaimana rasanya sehari menjadi murid.

Selain itu, saya sangat muak jika menghadapi guru yang sok idealis. Karena menghadapi mereka ibarat melihat wc, ingin kencing dan buang air saja disana. 

Mereka meminta dengan paksa setiap muridnya untuk menjalankan semua perintah gurunya dengan tanpa kecuali. Seperti menghapal catatan yang diberikan gurunya dengan syarat harus teks book. Jika tidak sama dengan catatan gurunya lalu disalahkan tanpa ampun ketika diadakan test atau ulangan. 

Atau ketika mengerjakan soal matematika harus mengikuti langkah kediktatoran seorang guru. Jika tidak mengikuti cara yang mereka (para pengajar) berikan maka tanpa ampun, hasil yang benar pun akan disalahkan tanpa kecuali. (kecuali anak pejabat, atau anak petinggi, atau mungkin anak pemilik yayasan dari sekolah itu sendiri)

Bagaimana jika tantangan lain muncul dari para murid,jika murid yang membuat soal dan guru yang mengerjakannya?

Dalam sehari, bisa dilangsungkan tiga buah test yang bahannya satu mata pelajaran bisa tiga sampai lima bab (tentunya bisa mencapai ratusan halaman). Lalu bagaimana mereka belajar? Apakah mereka harus ronda semalaman tanpa tidur karena bahan test yang begitu membabi buta?

Apakah para pengajar itu mau tahu kesulitan dan penderitaan murid-murid?

Bagaimana jika keadaan dibalik saja? Para pengajar itu disuruh menjalani test dengan bahan-bahan yang sebegitu banyak? Apakah mereka yakin akan mendapat nilai seratus atau mendapat nilai A+? TIDAK AKAN! IMPOSSIBLE!

Mereka hanya memikirkan ; “ingin cepat selesai” agar tugas mereka dalam memberikan test cepat selesai juga, dan sekolah cepat libur. Tapi bagaimana penderitaan murid-murid itu sendiri ? Belajar tanpa harus kenal lelah dan seakan otak mereka adalah robot-robot tanpa nyawa yang hanya terbuat dari besi saja. Mereka manusia, juga anak-anak anda sendiri!

Jangan terus memeras mereka seperti mereka adalah obyek dan selalu menjadi obyek ekploitasi kepentingan semata. Berikan mereka ruang gerak yang baik dan berikan mereka hak yang layak sebagai seorang murid yang tentunya juga ingin menjadi pandai.

Menjadi pandai bukan terus dengan menghantam mereka tanpa batasan yang pantas dengan menjejali otak mereka dengan semua pelajaran yang banyak bertele-tele tersebut.

Mari, pengajar yang baik, milikilah simpati juga empati kepada para murid – murid yang tentunya adalah anak- anak anda sendiri. Jangan tumpahkan kekesalan rumah tangga anda kepada mereka, jangan tumpahkan semua kehendak egois anda juga kepada mereka. Sayangilah mereka sebagai laskar pelangi anak bangsa yang punya mimpi mereka sendiri.

Mendidik mereka dengan kasih sebagai pengajar dan sebagai orang tua, bukan sebagai sosok yang gila akan penghormatan.Oemar Bakri memang hanya sebuah lagu, tapi apakah salah jika sosok Oemar Bakri bisa menjadi inspirasi bagi guru-guru yang ada di negeri ini untuk bisa lebih baik dan lebih manusiawi kepada para murid mereka sendiri?

Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, jangan jadikan semboyan itu bergeser menjadi guru adalah diktator tanpa nurani pencetak manusia bobrok!!!

Banyak guru yang baik namun tak kalah banyak guru yang memalukan dunia pendidikan itu sendiri. Pendidikan tak akan pernah maju tanpa kehadiran seorang guru, namun perlu diingat, pendidikan pun tak akan maju tanpa adanya murid, karena siapa yang mau belajar?

Jangan puas untuk bisa berlaku baik menjadi guru dalam sehari, namun dedikasikan lah semangat mengabdi sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang mencerdaskan bangsa tanpa pamrih, karena itu salah satu bekal menuju kehidupan sorgawi, dan suatu keberhasilan bagi setiap pribadi sebagai pengajar dalam mencetak manusia Indonesia yang luhur dan mulia dimasa depan nanti.

Jika Guru kencing berdiri, murid tentu kencing berlari, haruskah pepatah itu menjadi kenyataan dan terealisasi?

Saatnya anda memilih, dengan hati nurani, dengan martabat mulia sebagai seorang pengajar, bukan penghajar!!!

Karena masih banyak guru-guru berhati mulia diluar sana yang mengajar dengan dedikasi yang tinggi demi negeri tercinta ini


Tulisan ini terinspirasi dari banyaknya curahan hati murid-murid sekolah yang bercerita dari hati ke hati, kadang diselipi oleh linangan air mata mereka yang begitu murni,…semoga banyak yang tergugah dengan menceritakan cerita ini kesemua khalayak sehingga mereka yang menyebut diri mereka pengajar bisa menjadi pengajar berhati mulia, bukan menjadi penghajar yang durjana….

by smile